Medan Medan: Ketika Idealisme, Hidup, dan Politik Bertabrakan di Balik Ruang Kerja Para Pencerita Berita!
Di balik setiap koran, berita, dan narasi yang kamu nikmati setiap pagi atau sore, selalu ada orang-orang yang bekerja dalam diam—berkejaran dengan waktu, tekanan, dan realitas hidup yang tidak selalu berpihak. 📰🏹
Dunia media sering terlihat glamor dari jauh. Gelimang informasi, idealisme, dan suara publik menyeruak di dalamnya. Tapi di balik layar, ada kisah yang jauh lebih kompleks, mengandung sisi humanis, dan kadang lebih getir dari yang biasanya terlihat.
Di Indonesia, terutama di luar kota metropolitan, dunia pers punya wajah yang berbeda. Medannya sering kali lebih keras, lebih menantang; tapi juga lebih membumi. Ada wartawan yang harus merangkap banyak peran, ada media yang harus hidup dari modal nekat, dan ada pula jaringan pertemanan yang menjadi satu-satunya alasan roda tetap berputar.
Nah, novel Medan Medan mengajak kita mengintip kehidupan seperti itu! Pergulatan dan dinamika di ruang redaksi, kerasnya perjuangan membangun media, hingga warna-warna lokal yang membuatnya terasa begitu nyata.
Penasaran dengan gambaran apa yang akan tersaji dalam karya terbaru Muram Batu tersebut? Yuk, kita bahas bersama-sama! 📺📶
Jom Intip Sinopsisnya!
Mau membangun koran di Medan dalam situasi media daring dan media massa yang begitu masif? Sepertinya itu pemikiran gila! Nyatanya, Laung memilih niat gila itu. Dia punya konsep, punya kenekatan yang tak terpikir pekerja atau pebisnis koran lain di ibu kota Sumatra Utara tersebut.
Melalui bantuan orang dari masa lalu serta mantan anggotanya saat jadi redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi di koran sebelumnya, Laung pun mulai menjalankan konsep yang dimilikinya. Dia beri nama koran barunya: Medan Raya. Terbit sore dan berdialek Medan.
"Wartawan di kota ini lebih dikenal sebagai makelar kasus, makelar proyek, hingga mucikari. Salah siapa? Tentu saja banyak penyebab. Yang pasti, uang adalah kambing hitam yang tepat."
Muncul Pilu, seorang wartawan gadungan, yang paham bisnis maupun teknis koran. Pengalaman tak bergaji di media abal-abal, juga kehadiran kawan-kawan lama saat tinggal di Langsa, membuat Pilu berbeda. Pilu dan banyak wartawan gadungan lainnya kemudian bergabung dengan Laung membangun Medan Raya.
Apakah Medan Raya berhasil mengarungi medan pertempurannya? Atau koran ini justru akan kalah oleh arus perkembangan zaman dan intrik politik yang merajalela?
Baca juga: This is What Home Could Feel Like: Temukan Makna Rumah Lewat Benda-Benda di Sekitarmu!
Mendalami Pusaran Cuan Dalam Bisnis Koran!
Buku ini mengajak kamu menelusuri bagaimana industri koran bekerja, bukan hanya dari proses penyusunan berita, tetapi juga dinamika ruang redaksi. Mulai dari proses pencarian dan penyusunan berita, cara pendistribusian koran cetak menuju konsumennya, serta intrik politik yang terjadi dalam lanskap bisnisnya.
Dalam buku ini, Muram menghadirkan tokoh-tokoh dengan karakter yang variatif namun kuat dengan esensinya masing-masing. Ada karakter yang lurus dan kaku, ada yang diam—seolah bimbang–-tapi menghanyutkan, dan ada pula yang hanya ingin menguntungkan diri sendiri.
Disajikan dengan logat Medan yang menjadi latar tempat bagi ceritanya, buku ini tetap mampu menyajikan pengalaman membaca yang menyenangkan buat kamu yang bukan penuturnya. Sekalipun menyajikan bahasan yang cukup asing dalam konfliknya, narasinya dikemas mengalir. Sehingga, sajian di dalamnya tetap mampu membawamu lenyap ke dalam pengalaman baru yang menyenangkan!
Diukir Seru oleh Muram Batu!
Muram Batu lahir di Limapuluh, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, 30 Agustus 1978. Bernama panjang Muhammad Ramadhan Batubara, kadang juga menyingkat jadi Muram Batubara. Dari balita hingga tamat SMA tinggal di Langsa, Aceh, dan setelah itu (1997) tinggal di Yogyakarta; sempat kuliah di Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada. Selama kuliah sempat aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Dian Budaya FIB UGM. Pada 2001 mendirikan Kelompok Terjal (Teater Jarang Latihan) FIB UGM dan meninggalkan kelompok tersebut dua tahun kemudian. Pada 2003 mendirikan dan memimpin BEN! media luar biasa; media indie sastra, terbit dan beredar di Yogyakarta.
Pada 2008 pindah ke Medan dan bekerja sebagai jurnalis. Awal 2018 mengundurkan diri dan beralih menjadi penulis lepas. Memublikasikan cerpen sejak 2001 di majalah Horison (Jakarta) dan setelah itu karyanya menyebar di berbagai media massa. Buku tunggalnya yang telah terbit adalah kumpulan cerpen Hujan Kota Arang (2018), novela Tepi Toba (2019), kumpulan cerpen Kartini Boru Regar, Tahi Kecoa, dan Walikota (2020), dan novela Yang Tetap Hilang (2023). Selain prosa juga menulis naskah drama. Naskahnya yang paling populer adalah Lena Tak Pulang (2006).
Ikuti Keseruannya dengan Harga Spesial!
Buat kamu yang tertarik untuk menelusuri serunya kisah pergulatan bisnis koran dalam Medan Medan, kamu bisa banget buat dapetin bukunya di Gramedia sekarang juga!
Ada potongan harga 20% yang bisa kamu nikmati selama periode 5 sampai 23 November 2025! Artinya, kamu berkesempatan buat melahap keseruan kisahnya hanya dengan harga Rp79.200 saja!
So, tunggu apa lagi? Jangan sampai kelewatan ya!
Buat Yang Masih Haus Kisah Menarik!
Medan Medan menunjukkan bagaimana cerita sederhana bisa terasa besar ketika dibawakan dengan jujur. Kalau kamu ingin lanjut menikmati narasi kuat dengan sentuhan serupa, bisa banget buat langsung pilih salah satu buku berikut ini! 📚🍃
1. Orang-Orang Proyek – Ahmad Tohari
Novel Orang-Orang Proyek ditulis oleh penulis terkenal Indonesia, yaitu Ahmad Tohari. Tulisannya yang menakjubkan mampu menggambarkan pandangan khas desa dengan baik melalui uraian kalimatnya. Kemampuannya dalam menulis sudah tidak diragukan lagi, ia pernah mendapatkan penghargaan penulis Asia Tenggara pada tahun 1995.
Novel ini menceritakan sisi gelap dari bangsa Indonesia. Penulis memperlihatkan gambaran-gambaran oknum dalam pembangunan proyek jembatan. Memotong biaya anggaran demi masuk saku pribadinya (kepentingan pribadi).
Memahami proyek pembangunan jembatan di sebuah desa bagi Kabul, insinyur yang mantan aktivis kampus, sungguh suatu pekerjaan sekaligus beban psikologis yang berat. "Permainan" yang terjadi dalam proyek itu menuntut konsekuensi yang pelik. Mutu bangunan menjadi taruhannya, dan masyarakat kecillah yang akhirnya menjadi korban. Akankah Kabul bertahan pada idealismenya? Akankah jembatan baru itu mampu memenuhi dambaan lama penduduk setempat?
2. Saman – Ayu Utami
Empat perempuan bersahabat sejak kecil. Shakuntala si pemberontak. Cok si binal. Yasmin yang selalu ingin ideal. Dan Laila, si lugu yang sedang bimbang untuk menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.
Tapi diam-diam dua di antara sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda dari masa silam: Saman, seorang aktivis yang menjadi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. Kepada Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta?
Sejak terbit bersamaan dengan Reformasi, Saman tetap diminati dan telah diterjemahkan ke sepuluh bahasa asing. Novel ini mendapat penghargaan dari dalam dan luar negeri karena mendobrak tabu dan memperluas cakrawala sastra.
3. Laut Bercerita – Leila S. Chudori
Buku ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama mengambil sudut pandang seorang mahasiswa aktivis bernama Laut, menceritakan bagaimana Laut dan kawan-kawannya menyusun rencana, berpindah-pindah dalam pelarian, hingga tertangkap oleh pasukan rahasia. Sedangkan bagian kedua dikisahkan oleh Asmara, adik Laut. Bagian kedua mewakili perasaan keluarga korban penghilangan paksa, bagaimana pencarian mereka terhadap kerabat mereka yang tak pernah kembali.
Buku ini ditulis sebagai bentuk tribute bagi para aktivis yang diculik, yang kembali, dan yang tak kembali dan keluarga yang terus menerus sampai sekarang mencari-cari jawaban.
Novel ini merupakan perwujudan dalam bentuk fiksi bahwa kita sebagai bangsa Indonesia tidak boleh melupakan sejarah yang telah membentuk sekaligus menjadi tumpuan bangsa Ini. Novel ini juga mengajak pembaca menguak misteri-misteri bangsa ini yang mana tidak diajarkan di sekolah. Walaupun novel ini adalah fiksi, laut bercerita menunjukkan kepada pembaca bahwa negeri ini pernah memasuki masa pemerintahan yang kelam.
4. Menyusu Celeng – Sindhunata
Dengan menyusu pada raja celeng, mereka pun memperkuat ilmu celengnya. Dan apa lagi ilmu celeng itu, selain ilmu serakah, ilmu kemaruk, ilmu mengeruk harta, ilmu korupsi, ilmu gila kuasa untuk menumpuk kekayaan yang tiada batasnya. Namun untuk bisa menyusu dan memperoleh ilmu-ilmu itu ada syaratnya. Kurang lebih sama dengan pesugihan, yang juga menuntut syarat kurban.
Menyusu Celeng karya Sindhunata bercerita tentang kemunafikan, kekejaman, kejahatan, dendam, nafsu, dan perilaku manusia berwatak celeng. Mengutip Friedrich Nietzsche, binatang buas itu memang belum mati di masa sekarang, binatang buas itu masih hidup, dan makin hidup karena terlahir kembali.
5. Nyanyian Bisu dalam Orkestra Bayang-Bayang Refleksi 60 Tahun G30S – Yusron Ihza
Zenius Tafsir, yang sudah tahunan melanglang buana di negara orang dan melahap berbagai pengetahuan geopolitik, bahkan tak bisa mengungkapkannya dalam satu kalimat sederhana. Sebaliknya, jika pun bisa dikemukakan, satu kalimat tentang Indonesia takkan pernah sederhana. Itulah yang ditemuinya saat akhirnya kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Tanjung Pandan.
Mendadak sangsi, Taf bergerak. Menyusun noktah dan nada menjadi irama yang selama ini luput didengar orang. Dalam pusaran kemelut negeri yang tak pernah usai, Taf membunyikan dering halus yang menggelisahkan banyak orang; sekaligus memanggil mereka yang telah lama berdiam, menunggu, bersembunyi, dihukum. Dengan keberanian dan kesadaran yang tak lagi bisa dipadamkan, nyanyian tak lagi bisa dihentikan, apalagi diredam.
Di akhir, semuanya akan menuju ke arah datangnya cahaya. Entah kita akan silau terhadapnya, atau justru memilih melihat jelas segalanya. Yang jelas, semua yang tampak takkan bisa dibungkam lagi.
Pada akhirnya,
Medan Medan memang menjadikan bisnis koran sebagai panggung utamanya. Namun di balik itu, cerita ini juga mengajak kita melihat lebih dalam, bahwa godaan jalan pintas mungkin bisa mengangkat seseorang dengan cepat, tapi jarang memberikan pijakan yang benar-benar kokoh dan bertahan lama. 🎭🧨
novel ini menawarkan sudut pandang yang menyegarkan, bahwa kebaikan bukan hanya pilihan moral, tapi juga strategi hidup yang bisa membawa kesuksesan dengan cara yang lebih elegan dan berkelanjutan.
“Jangan matikan lawan, biarkan melawan, karena cuma lawan yang tahu kelemahan kita. Kalau dia hanya tahu kelebihan kita, berarti bukan lawan, nanti juga mati sendiri,”
Yup, kalau kamu penasaran dengan bagaimana cerita ini menggambarkan idealisme, strategi, hingga pergulatan para tokohnya di dunia bisnis yang penuh intrik, segera dapatkan bukunya selagi penawaran spesialnya masih berlangsung! 🕺🛒
✨ Oya, jangan lupa juga buat dapetin penawaran spesial dari Gramedia! Cek promonya di bawah ini agar belanja kamu jadi lebih hemat! ⤵️
Temukan Di Sini!
Baca Artikel Lainnya di Sini!
Dapatkan Promonya Di Sini!
Temukan Di Sini!
Temukan Di Sini!
Temukan Di Sini!
Temukan Di Sini!
Temukan Di Sini!
Temukan Semua Promo Spesial di Sini!