Pikiran, cerita, dan gagasan tentang buku dengan cara yang berbeda.

Joko Pinurbo dan Kesulitannya Menulis Srimenanti

Joko Pinurbo dan Kesulitannya Menulis Srimenanti

Beberapa waktu lalu, pengarang kumpulan puisi Celana Joko Pinurbo mendapatkan Anugerah Kebudayaan 2019. Dilansir dari Detik, Penghargaan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut diberikan langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X. Joko Pinurbo yang kerap disebut Jokpin masuk ke dalam kategori pelaku atau pelestari seni bersama Kill the DJ dan Sanggar Tari Bali Sasarswati KPB Purantara Yogyakarta.

Pada April 2019 lalu, Jokpin menerbitkan karya prosa perdananya berjudul Srimenanti yang merupakan eksplorasi terhadap puisi “Pada Suatu Pagi Hari” karya Sapardi Djoko Damono. Menurut Jokpin, puisi tersebut bisa dikembangkan dengan persona seorang perempuan yang ternyata mengalami trauma sejarah dalam hidupnya. Itu mengacu pula pada puisi-puisi yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono.

“Karena kalau saya yang lahir di zaman Orde Lama mengalami banyak trauma dari rezim ke rezim. Saya mengalami trauma tahun ’65-’66 lalu tahun 1998. Maka, saya isi puisi itu dengan tokoh yang saya reka sendiri—yaitu seorang perempuan yang mengalami trauma,” ujar Jokpin dalam acara bincang buku bersama Dewi Kharisma Michellia di acara Festival Literasi 2019 pada Senin (30/9) lalu.

Puisi “Pada Suatu Pagi Hari” membuat Jokpin membayangkan seorang perempuan yang ingin merayakan kesedihannya sekaligus ingin menyembuhkan traumanya. Kandungan tersebut yang kemudian tertuang dalam prosa perdananya itu. Ia memberi pemahaman bahwa tidak hanya kebahagiaan saja yang perlu dirayakan, tetapi kesedihan pun perlu.

Teh
Joko Pinurbo dan Dewi Kharisma Michellia di acara Festival Literasi 2019 Kemenkeu (Gramedia.com/M. Fachrio Alhadar)

Lebih lanjut, melalui Srimenanti Jokpin ingin menyampaikan bahwa seni—termasuk sastra khususnya puisi—itu memiliki daya terapi terhadap seseorang. Ia pun berpetuah untuk sabar ketika membaca Srimenanti. “Membaca karya saya harus sabar karena akan banyak menemukan ruang senyap atau celah seni yang harus Anda isi dan kembangkan sendiri,” ujar Jokpin.

Pada acara yang diselenggarakan di Gedung Dhanapala, kompleks Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) tersebut, Jokpin mengakui kesulitan dalam membuat prosa—terutama saat mengerjakan Srimenanti. Ia membandingkannya dengan ketika dirinya menulis puisi. Menulis puisi bisa dicicil, tapi menulis prosa tidak bisa.

Baca juga:

“Menulis prosa itu perlu kedisiplinan yang sifatnya panjang. Kalau nggak, nggak akan selesai. Kalo menulis puisi, saya bisa tidak terikat dengan waktu, saya hari ini dapat sebaris, setelah itu kehabisan ide atau malas, lalu lanjutkan kapan-kapan itu bisa,” terang Jokpin.

Perencanaan yang jelas dan kedisiplinan adalah kata kunci dalam menulis prosa yang ditekankan oleh Jokpin. Ia mendisiplinkan diri untuk merampungkan naskah Srimenanti hanya dalam kurun waktu tiga bulan. Untungnya, Jokpin sudah mencicil naskah prosanya yang bahannya sudah siap sejak belasan tahun lalu. Ia menyebutkan bahwa naskah prosanya merupakan pengembangan dari cerpen “Laki-Laki Tanpa Celana” yang masuk ke dalam buku Selamat Menunaikan Ibadah Puisi.

Penasaran dengan prosa perdana Joko Pinurbo? Temukan Srimenanti di Gramedia.com!


Abduraafi Andrian

Content Team

Enter your email below to join our newsletter