Jatuh-Bangun Proyek Film Bumi Manusia

Setelah lewati jalan panjang berliku, akhirnya karya sastra terkenal karangan Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, berhasil mewujud jadi film panjang. Sebelumnya, sejumlah produser, sutradara, serta penulis skenario ternama datang dan pergi menangani proyek film ini. Nama besar novel pertama dari Tetralogi Buru ini dan kompleksitas ceritanya yang sarat dengan latar sejarah menjadi tantangan dan beban tersendiri bagi para pembuat film.

Apalagi, novel ini pun pernah dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia pada 1981 karena dituduh memuat propaganda ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme. Padahal, dalam kurun 1980-1981 sebelum pelarangan, novel ini dicetak ulang sampai 10 kali. Nama Pramoedya Ananta Toer sendiri menjadi ganjalan yang membuat para calon investor jadi enggan terlibat dalam proyek film ini.

Apa lagi penyebabnya ? Simak penjelasan berikut

1. Pram Inginkan Sineas Indonesia, Bukan Hollywood

Tawaran sineas terkenal Hollywood Oliver Stone untuk memfilmkan Bumi Manusia ditolak Pramoedya Ananta Toer. (Sumber foto: Ifex.org)

Pada September 2004, hak adaptasi Bumi Manusia akhirnya dibeli oleh Hatoek Soebroto, bos PT Elang Perkasa, sehingga ia berhak untuk mengalihwahanakan novel tersebut jadi film dan serial televisi dalam jangka waktu lima tahun. Sebelumnya, sineas ternama Hollywood, Oliver Stone, juga berminat untuk membeli hak adaptasi Bumi Manusia seharga 1,5 juta dolar AS, tapi Pram menolaknya.

Sebab, Pram lebih ingin sineas Indonesia yang memfilmkan karya pentingnya itu. ”Saya bangga karena ada orang Indonesia yang mau memfilmkan novel saya,” kata Pram setelah menandatangani kontrak dengan PT Elang Perkasa. Lalu, berapa uang yang dikeluarkan Hatoek untuk hak adaptasi ini? Ia enggan mengungkap angka pasti, tapi yang jelas miliaran rupiah.

2. Sulit Cari Investor

Setelah lama lakukan pengembangan naskah dan cari investor, Mira Lesmana dan Riri Riza batalkan proyek film Bumi Manusia. (Sumber foto: Teras.id)

Novel Bumi Manusia memiliki kisah yang kompleks dengan isu percintaan, kemanusiaan, kolonialisme, nasionalisme, dan sebagainya. Narasinya diperkuat dengan latar sejarah yang detail semasa akhir abad 19 dan awal abad 20. Alhasil, skala produksi filmnya pun jadi besar. Bujetnya pun sudah pasti amat membengkak.

Maka, Hatoek bekerja sama dengan Leo Sutanto dari Sinemart untuk memproduksi film Bumi Manusia sejak 2006. Jujur Prananto ditunjuk untuk menulis skenario adaptasinya. Namun, belum ada sutradara yang dinilai pas untuk menggarap film ini.

Baca juga:

Hingga akhirnya, produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza diajak berkolaborasi oleh Hatoek pada 2009. Mira dan Riri pun tancap gas melakukan riset dan tahapan praproduksi. Sementara skenario tetap dipegang Jujur. Mira mengaku akan menyiapkan bujet Rp 20 miliar untuk produksi film Bumi Manusia. Mereka juga sudah melakukan proses pencarian pemain dan riset sampai ke Leiden, Belanda untuk menggali data sejarah tentang Indonesia di akhir abad 19 dan awal abad 20.

Setelah dua tahun berupaya menggaet investor, proyek film ini menemui jalan buntu. “Pada kenyataannya memang untuk mengumpulkan dana pembuatan film Bumi Manusia masih sangat sulit,” ungkap Mira, yang lantas melepaskan proyek film ini.

3. Tuntutan Produser dan Beda Visi

Garin Nugroho sempat membuat skenario baru dengan Armantono untuk film adaptasi novel Bumi Manusia. (Sumber foto: Flickr)

Nasib proyek film Bumi Manusia juga pernah berada di tangan sutradara Garin Nugroho. Ia pun menggandeng Armantono untuk menulis skenario adaptasinya. Skenario yang sudah dibuat Jujur Prananto pun jadi tak terpakai. "Saat itu saya bilang ke Pak Leo kalau Garin yang bikin, skenario saya enggak akan terpakai. Apakah Garin kali ini pengen bikin film berdasarkan skenario?” ujar Jujur.

Dalam menyutradarai film-filmnya, Garin memang kerap mengubah skenario yang sudah jadi sesaat sebelum syuting. Bahkan, film Mata Tertutup (2012) dibuat Garin tanpa memakai skenario.

Tak dinyana, Garin Nugroho batal memfilmkan Bumi Manusia, walaupun persiapan produksi film ini sudah mencapai 80 persen. Penyebabnya, ada salah satu produser yang menginginkan tambahan elemen cerita, sehingga akan mengubah visi Garin tentang film Bumi Manusia. “Makna kemanusiaan akan bergeser dan hilang, saya menolak. Akibatnya proyek mandeg,” ucap Garin.

4. Bumi Manusia Sempat ke Anggy Umbara

Anggy Umbara membaca novel Bumi Manusia setelah diserahi proyek film adaptasi novel tersebut. (Sumber foto: Berita.baca.co.id)

Pada 9 Oktober 2015, Hatoek Soebroto wafat. Hak adaptasi Bumi Manusia yang tadinya dipegang PT Elang Perkasa juga sudah melewati tenggat kontrak. Falcon Pictures pun membeli hak adaptasi itu. Mulanya, Falcon berniat membeli hak adaptasi novel Perburuan dari keluarga Pramoedya Ananta Toer. “Mereka kemudian menawarkan pula Bumi Manusia. Ya kami maulah,” ujar Frederica, produser Falcon Pictures.

Anggy Umbara kemudian diserahin tanggung jawab untuk memfilmkan Bumi Manusia. Jagat media sosial pun kaget. Banyak warganet sangsi atas kemampuan Anggy untuk memfilmkan Bumi Manusia. Sebab, Anggy sebelumnya menggarap film komedi aksi, seperti Comic 8 dan sekuelnya Comic 8: Casino Kings.

"Sejauh ini tantangan yang ada masih di seputar substansi cerita yang harus teradaptasi secara baik dan tepat ke dalam skenario untuk dijadikan film," kata Anggy. Ia juga sempat mengajak Jujur Prananto untuk kembali menggarap skenario Bumi Manusia. Akan tetapi, Jujur mengaku tak diberi kabar lanjutan lagi soal Bumi Manusia ini.

5. Kembali ke Tangan Hanung Bramantyo

Sutradara Hanung Bramantyo bersama produser Frederica di lokasi syuting Bumi Manusia. (Sumber foto: Hipweee)

Akhirnya, HB Naveen, pemilik dan bos Falcon Pictures, menunjuk Hanung Bramantyo sebagai sutradara. Salman Aristo (Garuda di Dadaku, Sang Penari, Athirah) pun diajak jadi penulis skenario. Boleh dibilang, Salman mengembangkan skenario film ini dari awal lagi. Menyutradarai Bumi Manusia sendiri merupakan impian Hanung. Sebab, sebetulnya setelah ia merilis Ayat-Ayat Cinta pada 2008, Hatoek dan Deddy Mizwar sempat menawarinya untuk menyutradarai Bumi Manusia.  

"Saya bilang kepada mereka, ini akan jadi perjuangan saya. Saya rela enggak dibayar buat ini, he-he-he. Tapi sayangnya, entah kenapa, film itu batal," ucap Hanung. Saat itu, Hanung juga mengajak Salman Aristo untuk ikut menulis skenario adaptasi Bumi Manusia. Namun, kala itu, Salman merasa belum ‘siap’ untuk menangani karya besar Pram tersebut.

Pencarian pemain untuk memerankan Minke menjadi proses yang tersulit. Tak banyak aktor yang dinilai pas oleh Hanung untuk memerankan karakter kunci ini. Hingga akhirnya, Salman Aristo menyodorkan nama Iqbaal Ramadhan (Ada Cinta di SMA, Dilan 1990, Dilan 1991). Awalnya Hanung merasa tak yakin dengan ide Salman. Namun, Salman menyuruh Hanung untuk menonton Dilan 1990.

Sha Ine Febriyanti, Iqbaal Ramadhan, dan Mawar de Jongh adalah pemeran Nyai Ontosoroh, Minke, dan Annelies Mellema. (Sumber foto: Beritagar)

“Minke tuh kayak gitu. Itu icon kita. Itu yang membawa spirit Pram masuk menembus relung imajinasi anak-anak milenial sekarang, hanya Iqbaal,” kata Hanung menirukan omongan Salman.

Sejak Juli 2018, proses syuting Bumi Manusia pun dilakukan Yogyakarta dan Semarang di selama dua bulan. Selain Iqbaal, film Bumi Manusia juga diperkuat akting Sha Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh dan Mawar de Jongh sebagai Annelies Mellema. Film Bumi Manusia berdurasi total 2 jam 52 menit. Film ini akan dirilis pada 15 Agustus 2019.

Sumber: Tempo.co, Detik, Tabloid Bintang, CNN Indonesia, Republika.


Sumber foto header: Jakarta Post