Gelombang Aksi & Buku-buku yang Relevan untuk Kamu Resapi Lagi 🔥

Akhir Agustus 2025 jadi periode yang panas bagi Indonesia. Semua bermula dari satu hal yang kelihatan sederhana: tunjangan DPR yang jumlahnya fantastis.
Dari situlah percikan api muncul dan menjalar jadi kobaran besar. Rakyat marah, massa bergerak, mulai dari jalanan Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Papua, hingga kota-kota lainnya, semuanya kompak meneriakkan seruan yang sama, sebuah protes akan pemerintahan yang berkuasa, tanpa menunjukkan keadilan kepada rakyatnya.
Suara itu lantas kian menggema tatkala satu nama, Affan Kurniawan, seorang driver ojol yang sedang melaksanakan pekerjaannya, gugur kehilangan nyawa dilindas kendaraan taktis. Sosoknya, seolah menjadi martir bagi api gerakan yang sedang menyala-nyala.

Puncaknya, pemerintah muncul dengan memunculkan janji, janji akan segera mencabut aturan tunjangan tersebut. Presiden sendiri turun tangan, menyampaikan pidato serius yang mencoba menenangkan. Tapi satu hal jelas: gelombang rakyat tidak bisa dipandang remeh. Mereka bergerak karena ada alasan, ada rasa tidak adil yang terlalu lama dipendam.
Grameds, kalau kita berhenti sejenak, membuka halaman-halaman buku yang pernah lahir di negeri ini dan luar negeri, kita bisa lihat bahwa peristiwa semacam ini bukanlah hal baru. Literatur sering kali sudah lebih dulu merekam denyut rakyat, luka yang diwariskan, dan keberanian yang lahir di jalanan.
Dalam artikel ini, Gramin mau ajak kamu semua buat melihat buku-buku yang isinya punya garis yang relevan dengan peristiwa yang terjadi belakangan ini.
Yuk kita telusuri sama-sama! 💪
1. Ibunda – Maxim Gorky
"Mereka yang miskin menjadi bodoh karena kelaparan, sementara mereka yang kaya menjadi bodoh karena ketamakan."
Lebih jauh dari cerita revolusi Rusia, Ibunda juga bisa jadi merupakan cermin universal tentang bagaimana kasih seorang ibu bisa menjadi bahan bakar perubahan sosial.
Di tengah riuh massa di depan Gedung DPR, ada satu sosok yang mencuri perhatian, seorang ibu dengan kerudung pink, yang berdiri tegak dan melawan di antara kepulan gas air mata, seolah sedang mewakili jutaan suara rakyat kecil yang sering dilupakan. Sosok itu mengingatkan kita bahwa perlawanan bukan hanya milik yang muda dan kuat, tetapi juga milik seorang ibu yang hatinya digerakkan oleh cinta dan keberanian.
Kisah seperti itu sesungguhnya sudah pernah dituliskan lebih dari seabad lalu oleh Maxim Gorky dalam novelnya, Ibunda. Tokoh utamanya, Pelagia Vlassova, adalah seorang wanita sederhana yang hidup dalam ketakutan dan kemiskinan. Dipukul oleh suami, dihantui oleh rasa takut, ia nyaris tak punya kendali atas hidupnya. Namun, ketika putranya ikut dalam gerakan buruh, Pelagia perlahan menemukan keberanian. Cinta seorang ibu yang awalnya hanya ingin melindungi anaknya, menjelma menjadi semangat untuk memperjuangkan keadilan yang lebih besar.

Dari halaman buku hingga jalanan demonstrasi, dari Pelagia Vlassova hingga ibu berkerudung pink, ada benang merah yang sama: keberanian seorang ibu mampu menembus dinding kekuasaan. Gorky seakan ingin mengingatkan kita, bahwa di balik setiap gerakan besar, ada hati seorang ibu yang tak pernah berhenti berharap pada masa depan yang lebih adil.
Baca juga: Bu, Aku Ingin Pulang, Tapi Ke Mana?: Sebuah Pelukan untuk Kamu yang Pernah Kehilangan Ibu
2. Laut Bercerita – Leila S. Chudori
Laut Bercerita karya Leila S. Chudori menghadirkan kisah yang berakar dari salah satu periode paling kelam dalam sejarah Indonesia: masa menjelang runtuhnya Orde Baru. Dengan latar akhir 1990-an hingga awal 2000-an, novel ini menyingkap kehidupan para aktivis mahasiswa yang bergerak di tengah bayang-bayang represi, sembari tetap menyinggung sisi-sisi manusiawi seperti persahabatan, cinta, keluarga, dan kehilangan.
Cerita dibagi menjadi dua bagian yang saling berkelindan. Bagian pertama dituturkan melalui sudut pandang Laut, seorang aktivis muda yang bersama kawan-kawannya berjuang melawan rezim otoriter. Dari menyusun strategi perlawanan, turun ke jalan, hingga hidup dalam pelarian, mereka menghadapi risiko penangkapan dan penghilangan secara paksa. Bagian ini menggambarkan keberanian yang ditempa rasa takut, sekaligus semangat juang yang tak padam meski bahaya selalu mengintai.
Sementara itu, bagian kedua hadir lewat suara Asmara, adik Laut, yang mewakili jeritan keluarga para korban. Ia membawa pembaca menyelami luka yang ditinggalkan: kehilangan tanpa kepastian, doa yang tak pernah sampai, dan pencarian panjang akan keadilan yang tak kunjung datang.
Melalui novel ini, Leila Chudori tak hanya menuliskan fiksi sejarah, tetapi juga sebuah penghormatan bagi mereka yang hilang, mereka yang kembali dengan luka, dan keluarga yang hingga kini masih bertahan dengan harapan.
3. 1984 – George Orwell
1984 karya George Orwell adalah lonceng peringatan keras tentang apa yang terjadi ketika kekuasaan tumbuh tanpa batas. Diterbitkan pada 1949, novel ini menampilkan dunia distopia bernama Oceania, sebuah negeri di mana rakyat dipaksa hidup dalam ketakutan, kata-kata dipelintir, dan pikiran manusia dipasung oleh propaganda. Di atas segalanya berdiri “Big Brother”, simbol otoritas absolut yang terus mengawasi dan menuntut kepatuhan penuh.
Di tengah kegelapan itu, Winston Smith menjalani pekerjaannya di Kementerian Kebenaran, memalsukan sejarah agar sesuai dengan narasi Partai. Namun, keresahan dalam dirinya tumbuh: apakah hidup hanya berarti tunduk tanpa bertanya?
Bersama Julia, ia menyalakan percikan perlawanan, mencoba menemukan ruang bagi cinta dan kebebasan dalam dunia yang seakan menolak keduanya. Perjalanan mereka menegaskan bahwa keinginan untuk merdeka selalu ada, meski terhimpit oleh sistem yang represif.
Pada akhirnya, mesin kekuasaan menunjukkan betapa kejamnya ia bekerja. Winston ditangkap, disiksa, dan dipaksa menyerahkan bahkan keyakinan terakhirnya.
Lewat karya ini, Orwell seolah mengingatkan bahwa kebebasan tidak pernah datang dengan sendirinya, melainkan harus terus dipertahankan. 1984 masih terasa relevan hingga kini, mendesak kita untuk menjaga nalar, mempertahankan suara kritis, dan berani menolak dominasi dalam bentuk apa pun.
Baca juga: Seni Mengelola Emosi: Sebuah Panduan untuk Memahami Gejolak Alami dalam Diri Kamu
4. Aksi Massa – Tan Malaka
“Aksi massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.” –Tan Malaka
Dalam Aksi Massa, Tan Malaka mengurai pemikiran yang tajam tentang bagaimana perubahan sejati tidak lahir dari aksi segelintir orang yang bergerak diam-diam, melainkan dari kekuatan rakyat yang menyatu. Baginya, perebutan kekuasaan melalui cara-cara radikal yang tertutup—atau yang ia sebut sebagai putch—hanyalah manuver elit kecil yang terputus dari denyut kebutuhan massa.
Tan Malaka menegaskan bahwa revolusi bukan hasil rekayasa, melainkan buah dari kondisi sosial-ekonomi yang mendesak dan perjuangan yang tumbuh dari bawah. Ia menggambarkan dengan gamblang bagaimana rakyat hanya akan bergerak ketika perjuangan menyentuh kepentingan hidup mereka yang paling nyata.
Massa bukanlah kumpulan yang pasif atau bodoh, melainkan subjek yang menentukan arah sejarah. Inilah sebabnya mengapa segala bentuk gerakan yang mengabaikan kesadaran dan keterlibatan massa akan runtuh dengan sendirinya.

Sebagai jawaban, Tan Malaka menawarkan konsep aksi massa—sebuah jalan yang menempatkan rakyat sebagai inti dari perjuangan politik. Baginya, hanya dengan mengorganisasi, menyadarkan, dan menggerakkan massa secara kolektif, sebuah perubahan yang berakar kuat dapat dicapai.
5. Reformasi 1998 – Arya Prawiranegara
Reformasi 1998: Detik-detik Runtuhnya Orde Baru membawa kita kembali ke salah satu titik balik paling menentukan dalam sejarah Indonesia modern. Buku ini merekam secara kronologis hari-hari genting menjelang lengsernya Presiden Soeharto, lengkap dengan detail suasana politik, ekonomi, hingga denyut perlawanan rakyat di jalanan.
Dari eskalasi ketegangan pertengahan 1990-an sampai akhirnya sang penguasa harus melepas jabatan, semuanya dipaparkan dengan runut dan penuh ketegangan.
Arya Prawiranegara menuturkan bagaimana resistensi rakyat terhadap rezim Orde Baru terus membesar. Peristiwa pembredelan media, tragedi 27 Juli, krisis moneter yang mencekik, hingga gelombang demonstrasi mahasiswa yang tak terbendung menjadi rangkaian bukti bahwa kekuasaan yang dibangun di atas otoritarianisme pada akhirnya rapuh.
Setiap bab menjahit potongan-potongan peristiwa menjadi gambaran utuh tentang keruntuhan sebuah rezim. Lebih dari sekadar catatan sejarah, buku ini adalah potret keberanian rakyat menuntut perubahan dan fondasi bagi lahirnya demokrasi di Indonesia.

Dengan riset mendalam dan penulisan yang detail, Reformasi 1998 menjadi karya penting untuk siapa saja yang ingin memahami akar perjuangan bangsa. Sebab, reformasi bukanlah garis akhir, melainkan pintu masuk menuju kesadaran baru: bahwa kekuasaan sejati ada di tangan rakyat.
Baca juga: Perihal Cinta dan Menemukan ‘Rumah’, Quite Love Mengajarkan Cara Mencintai Tanpa Kehilangan Dirimu!
Membaca buku-buku di atas rasanya tak cuma membawa kita buat menengok pada kenyamanan membaca karya sastra atau mengintip sedikit celah jendela masa lalu, lebih jauh ada pantulan refleksi yang juga bisa diserap untuk melihat hal yang terjadi di masa kini.
Dari setiap lembar demi lembar, kita jadi sadar, bahwa setiap gelombang perlawanan rakyat, dari Rusia, Eropa, hingga Indonesia sendiri, selalu punya benang merah: keberanian untuk melawan ketidakadilan, sekalipun risikonya besar.
Grameds, di tengah hiruk pikuk berita dan derasnya arus informasi, mungkin kita mudah lelah, bahkan sinis. Tapi dengan kembali ke literatur, kita bisa menenangkan diri sekaligus mengasah nalar—belajar dari pengalaman orang-orang sebelum kita, memahami bahwa suara rakyat bukan sekadar teriakan di jalan, melainkan denyut sejarah yang menentukan arah bangsa.
Dan siapa tahu, dari halaman-halaman buku itu, kita bisa menemukan bukan hanya inspirasi, tapi juga kompas untuk terus berjalan ke depan. Karena seperti yang ditunjukkan sejarah, perubahan tak pernah datang tiba-tiba; ia lahir dari keberanian, kesadaran, dan suara-suara kecil yang terus bergema hingga jadi gelombang besar.
Satu hal yang perlu diingat, sebuah jargon yang barangkali sudah sering pula kamu dengar: Membaca adalah melawan—melawan lupa, melawan propaganda, dan melawan pernyataan yang menyesatkan. ✊📚
✨ Satu hal lagi yang jangan pula kamu lupa: Dapatkan penawaran spesial dari Gramedia! Cek promonya di bawah ini agar kamu bisa tetap merawat pengetahuan, tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya! ⤵️