Fenomena End Year Blues: Kenapa Kita Sering Kali Merasa Murung di Penghujung Tahun?

Fenomena End Year Blues: Kenapa Kita Sering Kali Merasa Murung di Penghujung Tahun?

Menjelang akhir tahun, suasana yang katanya penuh perayaan justru sering terasa sendu. Kalender makin tipis, notifikasi resolusi mulai bermunculan, dan tanpa sadar pikiran kita ikut berisik. 🧠👻

Ada rasa capek yang susah dijelasin, sedih yang datang tanpa kejelasan, sampai perasaan ketinggalan kala melihat pencapaian orang lain berseliweran di media sosial.

Di momen ini, otak seolah otomatis menekan tombol rekap tahunan. Seperti Spotify yang merangkumnya dengan fitur Wrapped, kita juga turut meninjau ulang apa saja yang sudah terjadi selama setahun terakhir. Terkait dengan apa yang berhasil, apa yang gagal, dan apa yang rasanya masih jauh dari harapan.

Well, proses refleksi ini sebenarnya wajar saja terjadi. Sayangnya, sering kali proses ini malah berubah jadi ajang membandingkan diri dengan standar yang terlalu tinggi. Akhirnya, alih-alih menutup tahun dengan rasa lega, banyak orang justru masuk ke fase murung. Dan kalau kamu pernah mengalaminya, bisa jadi itu berkaitan dengan fenomena yang dikenal sebagai end year blues.

Grameds familiar dengan istilahnya? Kalau belum, yuk kita cari tahu bareng-bareng! 💙🌌


Apa Itu End Year Blues?

Fenomena ini tuh merujuk pada kondisi turunnya suasana hati yang kerap muncul menjelang akhir tahun hingga setelah liburan berlalu. Perasaan ini sering kali datang secara perlahan, tapi terus-terusan. Ia datang berupa rasa sedih yang entah kenapa alasannya, sampai kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang biasanya terasa menyenangkan.

Gejalanya bisa berbeda pada tiap orang, namun umumnya meliputi perasaan kosong, cemas, lebih mudah tersinggung, lelah secara emosional, serta rasa kesepian yang muncul meski sedang berada di tengah keramaian. Ada juga yang merasa lebih sensitif terhadap komentar kecil atau mudah merasa gagal saat mengingat target-target yang belum tercapai.

Well, fenomena ini memang bukan diagnosis medis resmi sih, Grameds. Namun, dalam literatur populer psikologi, kondisi ini juga dikenal luas sebagai holiday blues. Artinya, apa yang kamu rasakan bukan hal aneh, karena hal ini juga dialami oleh banyak orang di berbagai belahan dunia.


Baca juga: Mengenal Inner Child: Luka Lama, Suara Pelan yang Masih Kita Bawa Hingga Hari Ini


Apa yang Menjadi Pemicunya?

Salah satu pemicu utama end year blues adalah tekanan evaluasi diri. Akhir tahun sering dipandang sebagai garis finish, sehingga pencapaian selama setahun terasa harus “dipertanggungjawabkan.” Saat realitas tidak sesuai ekspektasi, rasa kecewa pun mudah muncul.

Faktor sosial juga berperan besar. Media sosial dipenuhi unggahan pencapaian, liburan mewah, dan resolusi ambisius. Tanpa disadari, kita mulai membandingkan hidup sendiri dengan “potongan terbaik” hidup orang lain, yang tentu saja membuat perasaan tertinggal makin kuat.

Selain itu, perubahan rutinitas dan ekspektasi sosial selama musim liburan dapat memicu kelelahan emosional. Tidak semua orang memiliki pengalaman akhir tahun yang mulus dan menyenangkan. Bagi sebagian orang, justru ada kenangan kehilangan, konflik keluarga, atau kesendirian yang terasa lebih nyata di periode ini. Sounds like Back to December, eh?

kumpulanBaca Artikel Lainnya di Sini!


Terus, Langkah Apa yang Bisa Dilakukan?

Nah, kalau kamu mengalami gejala seperti yang telah disebutkan di atas, Gramin punya beberapa solusi yang bisa mengatasinya!

1. Izinkan Diri Merasa Apa Adanya

Tidak apa-apa jika akhir tahun tidak selalu terasa bahagia. Mengakui perasaan sedih atau lelah justru menjadi langkah awal untuk memprosesnya dengan sehat, alih-alih memaksakan diri terlihat baik-baik saja.

Memberi ruang pada emosi membantu kita memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan. Terkadang, yang diperlukan hanyalah jeda, bukan solusi instan yang mengobati cuma dalam satu malam.

2. Kurangi Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Setiap orang punya timeline-nya masing-masing. Apa yang terlihat sukses di luar belum tentu mencerminkan keseluruhan cerita hidup seseorang.

Membatasi konsumsi media sosial atau lebih selektif terhadap konten yang dikonsumsi bisa membantu menjaga kesehatan mental, terutama di momen reflektif seperti akhir tahun.

3. Ubah Cara Melihat Refleksi Tahunan

Alih-alih fokus pada target yang belum tercapai, coba lihat hal-hal kecil yang berhasil dilewati. Bertahan di tahun yang penuh tantangan juga termasuk pencapaian.

Refleksi tidak harus berujung pada kritik diri. Ia bisa menjadi ruang untuk mengenali proses dan pertumbuhan yang mungkin selama ini luput disadari.

4. Jaga Rutinitas Dasar

Di tengah liburan dan perubahan jadwal, menjaga pola tidur, makan, dan aktivitas fisik tetap penting. Tubuh yang lebih seimbang membantu emosi menjadi lebih stabil.

Hal sederhana seperti berjalan santai, minum air cukup, atau tidur lebih teratur bisa berdampak besar pada suasana hati.

5. Tetap Terhubung dengan Orang Terdekat

Berbagi cerita dengan teman, keluarga, atau orang yang dipercaya dapat meringankan beban pikiran. Tidak harus mencari solusi, terkadang didengarkan saja sudah cukup.

Jika perasaan murung terasa berkepanjangan dan mengganggu aktivitas sehari-hari, mencari bantuan profesional juga menjadi langkah yang bijak.


Baca Buku Ini dan Say Goodbye to End Year Blues!

Selain melalui solusi yang telah disebutkan di atas, kamu bisa juga mendalami buku-buku yang ada dalam list ini agar terhindar dari kemurungan di akhir tahun!

1. A Guide Book to Overcome Anxiety – Astrid Savitri

Apakah kamu memiliki kecemasan? Sudahkah kamu mencoba hampir semua hal untuk mengatasinya, tetapi kecemasan itu terus datang kembali? Mungkin kamu mengira sudah mengatasinya, padahal gejalanya masih terus muncul.

endTemukan Di Sini!

Kecemasan bisa muncul dalam beragam bentuk dan muncul tiba-tiba sebagai serangan panik, terutama ketika lonjakan kecemasan tiba-tiba membuat kita merasa seperti akan mengalami serangan jantung, menjadi gila, atau kehilangan kendali.

Buku ini akan membantumu memahami kecemasan dengan lebih baik. Di dalamnya akan membahas pentingnya memahami perbedaan antara kekhawatiran (worry) dan kecemasan (anxiety), juga seperti apa dampaknya pada keputusan-keputusan yang kita ambil dalam hidup kita sehari-hari.

Dengan memahami lebih baik mengenai kecemasan, harapannya kamu mampu mengelola kecemasan tersebut dan menggunakannya sebagai alat terbaik untuk memotivasi dan memperbaiki diri.


2. Kembali Bahagia – Caezarro Rey Abishur

endTemukan Di Sini!

Sempat mengalami depresi dan berulang kali ingin mengakhiri hidup, empat belas tahun lamanya Rheo mencoba berbagai cara dan menghabiskan miliaran rupiah untuk menemukan kembali kebahagiaan dalam dirinya. Kini Rheo merupakan salah satu praktisi yang paling direkomendasikan untuk mengubah karakter serta menghilangkan fobia dan trauma masa lalu. Ia juga berhasil menciptakan sistem yang merevolusi kebahagiaan jiwa.

Buku yang berisi kisah orang-orang yang berusaha menemukan kebahagiaan mereka ini bukan saja teori belaka, melainkan hasil pemikiran mendalam, praktik berkepanjangan, trial and error, serta jawaban atas puzzle konflik batin antara pikiran dan perasaan yang tidak terjawab selama 146 tahun lebih manusia mengenal ilmu kejiwaan.

Temukan kerangka berpikir untuk menghilangkan beban jiwa secara konsisten, yang bukan sekadar menerima, ikhlas, dan berdamai, tapi dengan pemahaman lengkap tentang bagaimana beban jiwa terbentuk serta langkah apa yang diperlukan untuk menyelesaikannya secara tuntas.


3. Filosofi Teras – Henry Manampiring

endTemukan Di Sini!

Lebih dari 2000 tahun lalu, sebuah mazhab filsafat menemukan akar masalah dan juga solusi dari banyak emosi negatif. Stoikisme, atau Filosofi Teras, adalah filsafat Yunani-Romawi kuno yang bisa membantu kita mengatasi emosi negatif dan menghasilkan mental yang tangguh dalam menghadapi naik-turunnya kehidupan.

Jauh dari kesan filsafat sebagai topik berat dan mengawang-awang, Filosofi Teras justru bersifat praktis dan relevan dengan kehidupan Generasi Milenial dan Gen-Z masa kini.

Buku ini mudah dipahami dengan ilustrasi tokoh filsafat, serta kata-kata bijak yang menambah daya tarik dalam membaca. Buku karangan Henry Manampiring ini sangat cocok dibaca untuk para generasi milenial, dan Gen Z dalam menghadapi ketakutan, kekhawatiran, kecemasan, serta hal negatif lainnya.


4. Pulih dari Trauma – dr. Jiemi Ardian

endTemukan Di Sini!

Trauma sering dipahami sebagai pengalaman kelam yang tidak mungkin diubah, tetapi dr. Jiemi Ardian mengajak pembacanya melihat trauma dari sudut yang lebih manusiawi dan ilmiah.

Dalam buku ini, trauma digambarkan sebagai memori yang membentuk cara kita memandang dunia dan merespons kehidupan sehari-hari. Selama memori itu masih membelenggu, bagian diri kita akan tetap terjebak dalam momen menyakitkan di masa lalu, meski waktu telah berjalan jauh ke depan.

Melalui pendekatan Trauma Processing Therapy (TPT), buku ini menunjukkan bahwa ada cara sistematis dan terukur untuk membantu diri keluar dari belenggu tersebut. Sebagai pembaca, kamu akan diajak memproses ulang memori lama, memberi ruang bagi emosi yang terpendam, serta memahami langkah-langkah pemulihan yang dapat dilakukan secara mandiri. Dilengkapi latihan-latihan singkat, buku ini menjadi pendamping lembut untuk siapa pun yang ingin memulai perjalanan pulih dan merebut kembali kendali atas hidupnya.


5. I Have Anxiety – Isnanahhh

endTemukan Di Sini!

Kecemasan merupakan salah satu gangguan kesehatan mental yang dapat memengaruhi emosi, pikiran, dan aktivitas sehari-hari.

Gangguan kecemasan salah satunya disebabkan oleh rasa stres akibat trauma secara psikologis yang terjadi pada kehidupan penderita. Kecemasan ini dapat diobati dengan psikoterapi dan obat psikotropika. Buku I Have Anxiety dapat menjadi salah satu opsi untuk membantumu menghadapi gangguan kecemasan yang ada pada diri kamu.

Buku ini berisi macam-macam kegiatan seperti mewarnai, menggambar, melengkapi gambar, serta journaling, yang dapat membantu dalam menghadapi kecemasan yang kamu rasakan.


Pada akhirnya…

End year blues adalah fenomena yang umum terjadi dan sangat manusiawi. Di tengah tekanan refleksi, ekspektasi sosial, dan perubahan suasana, wajar jika emosi terasa lebih sensitif dari biasanya. Mengenali apa itu end year blues dan pemicunya dapat membantu kita memahami diri sendiri dengan lebih jernih. 🧼🚿

Dengan langkah-langkah sederhana dan sikap yang lebih jujur terhadap diri sendiri, akhir tahun tidak harus selalu menjadi momen yang berat. Ia bisa menjadi waktu untuk bernapas, berhenti sejenak, dan menyadari bahwa perjalanan setiap orang berlalu sesuai dengan ritmenya masing-masing.

Jadi, menutup tahun tidak mesti dilakukan dengan perayaan keberhasilan besar. Terkadang, cukup dengan bertahan, belajar, dan tetap peduli pada diri sendiri, itu pun sudah lebih dari cukup. 😚

Terima kasih ya sudah tetap hidup hingga sejauh ini! 🌻💚


Baca juga: Rekomendasi Buku Indonesia Best Seller November 2025


Pelan-Pelan Menutup Tahun, Sambutlah Year End Sale!

Di sela refleksi dan rencana yang perlahan disusun, mungkin inilah saat yang tepat untuk memberi ruang bagi diri sendiri, melalui cerita, catatan, dan hal-hal kecil yang menemani hari. 📝🌠

Selama 14 November hingga 31 Desember 2025, tersedia penawaran dengan potongan harga hingga 70% untuk buku, brand pilihan, agenda, serta kalender di Gramedia.

Tentu, penawaran ini bisa kamu pertimbangkan dengan tenang, selaras dengan ritme akhir tahun yang ingin dijalani. Tak perlu terburu-buru. Jika waktunya terasa pas, biarkan bacaan dan perlengkapan baru menjadi teman dalam menyambut hari-hari yang akan datang 🍃😃

endDapatkan Promonya Di Sini!


Baca juga: Yolk: Kisah Dua Saudari, Rahasia, dan Hidup yang Tak Selalu Berjalan Mulus


✨ Oya, jangan lupa juga buat dapetin penawaran spesial dari Gramedia! Cek promonya di bawah ini agar belanja kamu jadi lebih hemat! ⤵️

kumpulanTemukan Semua Promo Spesial di Sini!


Enter your email below to join our newsletter