in

Review Buku Aku Ini Binatang Jalang Karya Chairil Anwar

Aku Ini Binatang Jalang adalah sebuah puisi ikonik karya Chairil Anwar yang ditulis pada tahun 1943. Karya ini bukan hanya menjadi salah satu puisi paling dikenal dari sang penyair, tetapi juga menjelma sebagai simbol kuat dari semangat Angkatan ’45. Lewat baris-baris puisinya, Chairil menggambarkan sosok “aku” yang penuh gairah, individualis, dan tak sudi tunduk pada norma-norma sosial yang mengekang.

Kalimat “binatang jalang dari kumpulannya terbuang” menceritakan sosok pemberontak, seseorang yang menolak dikurung dalam batas-batas sistem dan organisasi resmi. Kata “binatang jalang” menjadi metafora tajam bagi pribadi yang liar, bebas, dan enggan diatur. Ia terpinggirkan, tapi justru dari keterasingannya itu lahir kekuatan dan keaslian.

Puisi ini pertama kali dibacakan oleh Chairil Anwar di Pusat Kebudayaan Jakarta pada Juli 1943. Namun saat akan dipublikasikan di surat kabar Pemandangan, judulnya diubah menjadi “Semangat”. Menurut tokoh sastra HB Jassin, perubahan ini dilakukan untuk menghindari sensor dan sekaligus menyelipkan pesan perjuangan kemerdekaan. Meskipun sempat disamarkan, “Aku Ini Binatang Jalang” tetap melesat sebagai karya paling menggema dari Chairil Anwar, menjadi suara lantang bagi jiwa-jiwa yang tak mau ditundukkan oleh zaman.

Profil Chairil Anwar – Penulis Buku Aku Ini Binatang Jalang

Chairil Anwar, sebagai salah satu tokoh utama dari ā€œGenerasi 1945″, ia dikenal sebagai sosok yang memainkan peran krusial dalam perkembangan sastra Indonesia pada masa awal kemerdekaan. Melalui karyanya, Chairil Anwar berhasil menyemai semangat baru dalam puisi Indonesia dan menghadirkan perspektif yang segar dalam panorama kebudayaan Indonesia. Selain itu, ia juga terkenal karena kehidupan pribadinya yang eksentrik, termasuk kegemarannya mencuri buku dari toko, kecenderungannya untuk “menjiplak” karya-karya penyair asing, kisah cintanya yang beragam, pertempurannya melawan berbagai penyakit, dan gaya hidup bohemian yang ia anut.

Chairil lahir di Medan pada 22 Juli 1922. Ia mengenyam pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah dasar Belanda untuk penduduk asli Indonesia. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan nya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sebuah sekolah menengah pertama di Belanda, akan tetapi pendidikannya di sana tidak ia jalani sampai selesai. Orang tuanya bercerai pada saat ia berusia sembilan belas tahun. Setelah perceraian itu, Chairil pindah ke Jakarta bersama ibunya, di masa itulah ia mulai masuk dalam dunia sastra.

Meskipun pendidikannya tidak tuntas, Chairil dengan giat mempelajari bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman, serta menghabiskan waktunya membaca karya-karya penulis internasional yang terkenal seperti J. Slauerhoff, Rainer M. Rilke, W.H. Auden, H. Marsman, Archibald MacLeish, dan Edgar du Perron. Para penulis inilah yang menjadi referensinya, memengaruhi puisinya, dan membantu mengarahkan sastra Indonesia ke Eropa.

Chairil mulai dikenal sebagai penyair ketika usianya baru dua puluh tahun karena terbitnya Nisan pada tahun 1942. Ia terkejut dengan kematian neneknya, sehingga ia sadar bahwa kematian dapat datang kapan saja. Sebagian besar puisi yang ditulisnya setelah titik ini merujuk atau setidaknya secara implisit menggambarkan tentang kesadaran akan kematian. Seluruh puisinya, baik yang asli ia tulis sendiri, adaptasi, maupun yang diduga plagiarisme terkumpul dalam tiga buku yang berjudul: Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949), dan Tiga Menguak Takdir (1950).

Energi puisi Chairil Anwar tidak pernah sebanding dengan kondisi fisiknya yang semakin melemah akibat gaya hidupnya yang berantakan. Sebelum mencapai usia dua puluh tujuh tahun, ia sudah menderita berbagai macam penyakit. Pada tanggal 28 April 1949, Chairil Anwar meninggal dunia di Rumah Sakit CBZ (sekarang R.S. Cipto Mangunkusumo) Jakarta. Keesokan harinya, ia dimakamkan di Pemakaman Karet.

Untuk mengenang kata-kata yang ditinggalkannya, kini setiap tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Sastra se-Indonesia.

Sinopsis Buku Aku Ini Binatang Jalang

Koleksi Sajak 1942–1949

Selama bertahun-tahun, puisi-puisi Chairil Anwar tersebar di berbagai buku dan antologi, sehingga sulit untuk menemukannya dalam satu himpunan utuh. Sebagian puisinya hadir dalam Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus, sementara yang lainnya tersebar di buku seperti Tiga Menguak Takdir dan Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45.

Kini, semua karya itu dikumpulkan dan disatukan dalam satu buku berjudul Aku Ini Binatang Jalang, sebuah koleksi lengkap puisi Chairil Anwar dari tahun 1942 hingga tahun 1949.

Yang membuat buku ini istimewa bukan hanya karena menghadirkan seluruh sajak aslinya saja, tetapi juga karena untuk pertama kalinya, kita bisa membaca surat-surat pribadi Chairil kepada sahabat dekatnya, HB Jassin. Surat-surat ini memberikan kilasan yang jujur dan menyentuh tentang gejolak batinnya, tentang pergulatan seorang penyair yang hidup dalam semangat, kesendirian, dan kebebasan.

Kelebihan dan Kekurangan Buku Aku Ini Binatang Jalang

Pros & Cons

Pros
  • Salah satu rujukan karya sastra puisi terbaik.
  • Puisi favorit sepanjang masa.
  • Penuh dengan semangat dan gairah.
  • Terasa personal.
  • Pengalaman membaca yang unik dan otentik.
  • Penggunaan bahasa yang kuat dan penuh dengan imajinasi.
  • Kecermatan Chairil Anwar dalam merangkai kata.
Cons
  • Bahasa puisi yang sulit untuk dipahami

Kelebihan Buku Aku Ini Binatang Jalang

Sebagai sebuah antologi puisi, Aku Ini Binatang Jalang layak disebut salah satu rujukan utama dalam khazanah sastra Indonesia, terutama bagi siapa pun yang ingin mendalami seni menulis puisi. Buku ini bukan sekadar kumpulan karya sastra; ia adalah jendela yang memperlihatkan keberanian, semangat, dan jiwa yang tak pernah lelah melawan batas. Dihimpun dari karya-karya Chairil Anwar yang ditulis antara tahun 1942 hingga 1949, buku ini menyuguhkan karya-karya yang telah menjadi favorit sepanjang masa, puisi-puisi yang tidak hanya dibahas di ruang kelas, tetapi juga terus hidup di panggung-panggung pembacaan puisi, dan bahkan menjadi bagian penting dalam kurikulum pelajaran Bahasa Indonesia.

Salah satu kekuatan utama buku ini terletak pada semangat dan gairah yang menyala di setiap lariknya. Chairil tidak hanya menulis dengan pikirannya, tetapi dengan seluruh raganya—dengan darah dan luka, dengan amarah dan cinta. Puisinya memuat energi yang mentah sekaligus memikat, sebuah vitalitas khas yang mencerminkan sosoknya sebagai penyair yang bebas, keras kepala, dan tak sudi tunduk pada aturan.

Hal lain yang membuatnya semakin menarik adalah sisi personal yang kerap menyelinap dalam puisinya. Di balik keberaniannya, Chairil juga mengungkapkan kerentanan, tentang cinta yang tak terbalas, relasi yang rumit, dan luka yang menganga. Ia tidak malu menunjukkan bahwa dirinya pun manusia biasa, yang bisa gagal dan hancur oleh rasa.

Menariknya, jika puisi-puisi tersebut ditulis di masa kini oleh penyair lain, mungkin akan terasa sentimentil atau terlalu melankolis. Akan tetapi karena kita sudah mengenal Chairil dan konteks zamannya, setiap puisinya justru terasa otentik dan menggetarkan. Membaca Aku Ini Binatang Jalang memberikan pengalaman yang khas dan otentik, seolah-olah kita sedang diajak untuk menyusuri jejak hidup Chairil yang penuh gejolak.

Bahasa yang digunakan tajam dan penuh imajinasi, dengan pilihan kata yang begitu cermat hingga menciptakan irama yang bergelombang, kadang tenang, dan kadang menghentak. Chairil tahu betul kapan harus menekan dan kapan harus meledak. Puisinya mengalir seperti arus yang menggulung perasaan pembaca, mengajak kita menyelam lebih dalam ke dunia batinnya yang kompleks. Semua ini menjadikan buku ini bukan hanya koleksi puisi biasa, tetapi sebuah karya monumental yang mampu menyentuh dan menginspirasi lintas generasi.

Kekurangan Buku Aku Ini Binatang Jalang

Salah satu kekurangan yang paling sering dirasakan oleh pembaca, terutama pembaca awam atau yang baru mengenal puisi adalah bahasa puisinya yang cenderung sulit untuk dipahami. Gaya penulisan Chairil Anwar yang padat, penuh simbol, dan sarat akan makna sering kali menuntut pembacaan berulang agar maknanya bisa benar-benar ditangkap. Tidak jarang, pembaca merasa terombang-ambing oleh baris-baris yang tampak melompat-lompat atau terlalu metaforis, sehingga makna sajak menjadi kabur dan sulit diresapi secara emosional.

Kesamaran ini bisa membuat beberapa puisi terasa jauh, terutama jika pembaca tidak memiliki latar belakang pemahaman tentang konteks sejarah, psikologis, atau sosial dari kehidupan Chairil. Alih-alih merasa terhubung secara emosional, sebagian pembaca justru merasa kebingungan dan kehilangan arah saat mencoba menafsirkan larik-larik yang ambigu.

Penutup

Chairil Anwar memang telah lama tiada, meninggal dalam usia muda, hanya enam tahun setelah menulis puisi legendarisnya, Aku. Meski begitu, seperti sajak itu sendiri, keberadaannya tak pernah benar-benar mati. Justru dari kematiannya, lahirlah keabadian. Chairil hidup dalam setiap larik yang membakar, dalam setiap bisik lirih pembacaan puisi di panggung, di kelas, atau pin di dada para pecinta kata. Ia bukan sekadar penyair, tetapi api yang membakar jalur baru dalam dunia kesusastraan Indonesia.

Ketika Chairil membentak maut dan menulis, “Aku mau hidup seribu tahun lagi,” itu bukan sekadar pernyataan pemberontakan, melainkan sebuah janji abadi. Sebuah sumpah dari penyair muda kepada dunia, bahwa kata-kata mampu melampaui usia, bahwa puisi mampu menembus waktu. Dan benar saja, hari ini kita masih membacanya, masih tergetar oleh puisinya, juga masih mencoba menafsirkan gejolak jiwanya yang tak pernah selesai. Dalam setiap bait yang ia tinggalkan, Chairil hidup seribu tahun lagi.

Grameds, itu dia sinopsis, ulasan, dan pesan moral dari Buku Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar. Yuk langsung dapatkan buku ini hanya di Gramedia.com! Selain buku ini, Gramin juga sudah memberikan beberapa rekomendasi buku-buku puisi yang lainnya di bawah ini. Sebagai #SahabatTanpaBatas, kami selalu siap memberikan informasi dan produk terbaik untuk kamu.

Rekomendasi Novel

1. The Snatched and The Snapped

The Snatched and The Snapped

DERAI-DERAI CEMARA cemara menderai sampai jauh terasa hari akan jadi malam ada beberapa dahan di tingkap merapuh dipukul angin yang terpendam aku sekarang orangnya bisa tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan yang bukan dasar perhitungan kini hidup hanya menunda kekalahan tambah terasing dari cinta sekolah rendah dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.

2. Melihat Api Bekerja

Melihat Api Bekerja

Aku benci berada di antara orang-orang yang bahagia. Mereka bicara tentang segala sesuatu, tapi kata-kata mereka tidak mengatakan apa-apa. Mereka tertawa dan menipu diri sendiri menganggap hidup mereka baik-baik saja. Mereka berpesta dan membunuh anak kecil dalam diri mereka.

Aku senang berada di antara orang-orang yang patah hati. Mereka tidak banyak bicara, jujur, dan berbahaya. Mereka tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri.

 

3. Ayat-Ayat Api

Ayat-Ayat Api

Ayat-ayat Api

api adalah lambang kehidupan

itu sebabnya ia tak bisa

menjadi fosil

api adalah lambang kehidupan

itu sebabnya kita luluh-lantak

dalam kobarannya

 

Ruang Ini

kau seolah mengerti: tak ada lubang angin

di ruang terkunci ini

seberkas bunga plastik di atas meja,

asbak yang penuh, dan sebuah buku yang terbuka pada halaman pertama