Gramedia Logo
Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer

20 Buku

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis terkenal asal Indonesia yang dianggap sebagai salah satu penulis paling berpengaruh dalam sastra Indonesia modern. Ia lahir di jantung Pulau Jawa, Blora, Jawa Tengah pada tahun 1925 dan tumbuh di lingkungan keluarga yang dekat dengan gerakan nasionalis. Pramoedya merupakan anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semiotobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa Mas dari nama tersebut dan menggunakan Toer sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara oleh Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950an, ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara Pramoedya dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Pramoedya merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia. Pramoedya secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan proKomunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di Pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Pramoedya bersama rekan-rekan saat sedang melakukan kerja paksa di pulau Buru. Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan (13 Oktober 1965 sampai Juli 1969, Juli 1969 sampai 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan, Agustus 1969 sampai 12 November 1979 di Pulau Buru, November sampai 21 Desember 1979 di Magelang). Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun masih dapat menyusun serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, 4 roman semifiksi sejarah Indonesia yang menceritakan perkembangan nasionalisme Indonesia dan sebagian berasal dari pengalamannya sendiri saat tumbuh dewasa. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, bercermin pada pengalaman RM Tirto Adhi Soerjo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Prijaji dan media resmi sebagai sarana advokasi, Medan Prijaji yang diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara lisan kepada rekan-rekan di Unit III Wanayasa, Buru, sebelum dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan kisahnya di mana naskah-naskahnya diselundupkan lewat tamu-tamu yang berkunjung ke Buru. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan tidak bersalah secara hukum dan tidak terlibat Gerakan 30 September, tetapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia merampungkan penulisan Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan judul The Mutes Soliloquy, A Memoir. Salah satu karya terkenal Pramoedya adalah Tetralogi Buru, yang terdiri dari novel-novel Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Tetralogi ini mengisahkan perjuangan bangsa Indonesia dalam menghadapi kolonialisme Belanda dan menyoroti isu-isu seperti cinta, persahabatan, keadilan sosial, dan identitas nasional. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer sudah lebih dari 50 dan telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa dan mendapatkan pengakuan internasional. Novel Bumi Manusia merupakan karya yang luar biasa dan telah diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar yang menampilkan para bintang ternama, seperti Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, Ayu Laksmi, dan sejumlah aktor terkenal lainnya. Dalam arahan sutradara yang tak lain adalah Hanung Bramantyo, film ini berusaha untuk menghadirkan karya Pram dalam bentuk visual yang menarik. Bumi Manusia, sebagai salah satu karya terbesar dalam sastra Indonesia, pertama kali diterbitkan pada tahun 1980. Buku ini menghadapi tantangan berat karena mengalami larangan penerbitan yang diberlakukan terhadap karya-karya Pram. Larangan tersebut timbul karena dianggap mengandung ajaran Marxisme dan Leninisme, yang pada masa pemerintahan Orde Baru dilarang secara tegas. Namun, terlepas dari kontroversi tersebut, buku setebal 538 halaman ini dianggap sebagai sebuah mahakarya yang menjadi warisan sejarah terbaik bagi Indonesia. Sepanjang hidupnya yang penuh dengan karya sastra dan tulisan, Pram telah meraih berbagai penghargaan bergengsi, antara lain Penghargaan Balai Pustaka pada tahun 1951 dan pada tahun 1995 ia dianugerahi Hadiah Magsaysay dari Filipina. Pada tahun 1998, Pram juga mendapatkan penghargaan untuk Kebebasan Menulis Golden Pen of Freedom dari PEN International, dan pada tahun 1999 ia menerima gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan. Selain itu, ia juga memperoleh Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka) di Jepang pada tahun 2000, serta Norwegian Authors Union Award atas kontribusi intelektualnya yang berharga. Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award (1995) diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang pada masa Demokrasi Terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Akan tetapi, beberapa hari kemudian, Taufiq Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut pencabutan, tetapi mengingatkan siapa Pramoedya itu. Katanya, banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Akan tetapi, di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan kepadanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Namun demikian, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis. Dalam berbagai opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra 1965. Dan mereka menuntut pertanggung jawaban Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran tidak terpuji pada masa paling gelap bagi kreativitas pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra 1965 itu tidak lebih dari golongan polemik biasa yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam berbagai aksi yang kelewat jauh. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Akan tetapi, dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai juru tulis. Pekerjaan juru tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat pekerjaan dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada, sejak dipindahkan dari Unit III ke Markas Komando atau Mako. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebarluaskan secara internasional, menjadikan dia hidup lebih baik dalam penahanan itu. Pramoedya kerap kali menjadi bintang ketika ada tamu dari luar negeri yang berkunjung karena reputasinya di Internasional sangat dihargai. Pramoedya Ananta Toer memang memulai kariernya sebagai seorang wartawan sebelum menjadi penulis penuh waktu. Karya-karyanya seringkali mengangkat tema-tema sosial dan politik, dan ia dikenal karena gaya penulisannya yang kaya akan detail dan pemikiran yang mendalam. Saat Pramoedya Ananta Toer ditahan oleh pemerintahan Orde Baru di Indonesia selama beberapa tahun, ia menjalani masa tahanan tanpa akses ke buku atau alat tulis. Meskipun mengalami hambatan tersebut, ia terus menulis dan menjaga semangat kebebasan berbicaranya. Pramoedya Ananta Toer meninggal pada tahun 2006, namun warisannya sebagai seorang penulis berpengaruh dan perjuangannya untuk kebebasan berekspresi tetap diingat dan dihormati oleh banyak orang.